A. Tinjauan Pustaka
1 Batako
Kerusakan lahan pertanian yang disebabkan oleh pembuatan batu bata dan kebutuhan yang semakin meningkat menjadikan permintaan akan bahan bangunan juga semakin meningkat. Batako sebagai alternatif pengganti bata merah untuk bangunan dinding diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut. Batako merupakan bahan bangunan yang berupa bata cetak alternatif pengganti batu bata yang tersusun dari komposisi antara pasir, semen portland dan air dengan perbandingan 1 semen : 7 pasir. Batako difokuskan sebagai konstruksi-konstruksi dinding bangunan non struktural.
Bentuk dari batako/batu cetak itu sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu batu cetak yang berlubang (hollow block) dan batu cetak yang tidak berlubang (solid block) serta mempunyai ukuran yang bervariasi. Supribadi (1986: 5) menyatakan bahwa batako adalah “Semacam batu cetak yang terbuat dari campuran tras, kapur, dan air atau dapat dibuat dengan campuran semen, kapur, pasir dan ditambah air yang dalam keadaan pollen (lekat) dicetak menjadi balok-balok dengan ukuran tertentu”.
Menurut Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (1982) pasal 6, “Batako adalah bata yang dibuat dengan mencetak dan memelihara dalam kondisi lembab”.
Menurut SNI 03-0349-1989, “Conblock (concrete block) atau batu cetak beton adalah komponen bangunan yang dibuat dari campuran semen Portland atau pozolan, pasir, air dan atau tanpa bahan tambahan lainnya (additive), dicetak sedemikian rupa hingga memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai bahan untuk pasangan dinding”.
Sedangkan Frick Heinz dan Koesmartadi (1999: 96) berpendapat bahwa: ” Batu-batuan yang tidak dibakar, dikenal dengan nama batako (bata yang dibuat secara pemadatan dari trass, kapur, air)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian batako adalah salah satu bahan bangunan yang berupa batu-batuan yang pengerasannya tidak dibakar dengan bahan pembentuk yang berupa campuran pasir, semen, air dan dalam pembuatannya dapat ditambahkan dengan jerami sebagai bahan pengisi antara campuran tersebut atau bahan tambah lainnya (additive). Kemudian dicetak melalui proses pemadatan sehingga menjadi bentuk balok-balok dengan ukuran tertentu dan dimana proses pengerasannya tanpa melalui pembakaran serta dalam pemeliharaannya ditempatkan pada tempat yang lembab atau tidak terkena sinar matahari langsung atau hujan, tetapi dalam pembuatannya dicetak sedemikian rupa hingga memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai bahan untuk pasangan dinding.
2 Beton Ringan (Lightweight Concrete)
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi berat jenis beton atau membuat beton lebih ringan antara lain adalah sebagai berikut (Tjokrodimuljo, 1996).
(1) Dengan membuat gelembung-gelembung gas/udara dalam adukan semen sehingga terjadi banyak pori-pori udara di dalam betonnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambah bubuk alumunium kedalam campuran adukan beton.
(2) Dengan menggunakan agregat ringan, misalnya tanah liat bakar, batu apung atau agregat buatan sehingga beton yang dihasilkan akan lebih ringan dari pada beton biasa.
(3) Dengan cara membuat beton tanpa menggunakan butir-butir agregat halus atau pasir yang disebut beton non pasir.
Secara garis besar bila diringkas pembagian penggunaan beton ringan dapat dibagi tiga yaitu (Tjokrodimuljo, 1996):
(1) Untuk nonstruktur dengan berat jenis antara 240 kg/m3 sampai 800 kg/m3 dan kuat tekan antara 0.35 MPa sampai 7 MPa yang umumnya digunakan seperti untuk dinding pemisah atau dinding isolasi.
(2) Untuk struktur ringan dengan berat jenis antara 800 kg/m3 sampai 1400 kg/m3 dan kuat tekan antara 7 MPa sampai 17 MPa yang umumnya digunakan seperti untuk dinding yang juga memikul beban.
(3) Untuk struktur dengan berat jenis antara 1400 kg/m3 sampai 1800 kg/m3 dan kuat tekan lebih dari 17 MPa yang dapat digunakan sebagaimana beton normal.
Tabel 1. Pembagian Beton Menurut Penggunaan dan Persyaratannya
Pustaka Jenis beton ringan Berat jenis (kg/m3) Kuat tekan (MPa)
Dobrowolski (1998) Beton dengan berat jenis rendah
(Low-Density concretes) 240 – 800 0,35 – 6,9
Beton dengan kekuatan menegah
(Moderate-Trength Lighweight Concretes)
800 – 1440 6,9 – 17,3
Beton ringan struktur
(Structural Lightweight Concretes) 1440 – 1900 > 17,3
Neville and Brooks (1987) Beton ringan struktur (Structural Lightweight Concretes) 1400 – 1800 > 17
Beton ringan untuk pasangan batu (Masonry Concrete) 500 – 800 7 – 14
Beton ringan penaan panas (Insulating Concrete) < 800 0,7 – 7
a. Bahan Penyusun Batako
Dalam pembuatan batako pada umumnya bahan yang digunakan adalah pasi, semen dan air atau tanpa bahan tambahan. Berikut ini akan dijelaskan sekilas mengenai bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan batako.
1) Portland Cement (PC)
Semen adalah bahan yang mempunyai sifat adhesif dan kohesif digunakan sebagai bahan pengikat (Bonding material) yang dipakai bersama batu kerikil, pasir, dan air. Semen Portland akan mengikat butir-butir agregat (halus dan kasar) setelah diberi air dan selanjutnya akan mengeras menjadi suatu massa yang padat.
Portland Cement merupakan bahan utama atau komponen beton terpenting yang berfungsi sebagai bahan pengikat an-organik dengan bantuan air dan mengeras secara hidrolik. Portland Cement harus memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam PBI (1971). Portland Cement inilah yang dapat menyatukan antara agregat halus dan agregat kasar sehingga mengeras menjadi beton. Adapun komponen–komponen bahan baku Portland cement yang baik yaitu (Tjokrodimuljo, 1996):
(1) Batu kapur (CaO) = 60 – 67%
(2) Pasir Silika (SiO2) = 17 – 25%
(3) Alumina (Al2O3) = 0,3 – 0,8%
(4) Tanah Liat (Al2O3) = 0,3 – 0,8%
(5) Magnesia (MgO) = 0,3 – 0,8%
(6) Sulfur (SO3) = 0,3 – 0,8%
Kardiyono (1996: 6) menyebutkan bahwa pada dasarnya dapat disebutkan 4 unsur yang paling penting dari Portland Cement adalah:
(1) Trikalsium Silikat (C3S) atau 3CaO.SiO2
(2) Dikalsium Silikat (C2S) atau 2CaO.SiO2
(3) Trikalsium Aluminat (C3A) atau 3CaO.Al2O3
(4) Tetrakalsium Aluminoferit (C4AF) atau 4CaO.Al2O3.FeO3
Menurut Sagel et al (1994:1) “Semen Portland adalah semen hidrolis yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidraulis bersama bahan-bahan tambahan yang biasa digunakan yaitu gypsum”. Selanjutnya Nawy (1990: 9) memberikan pengertian semen portland (PC) adalah :
Semen portland dibuat dari serbuk halus mineral kristalin yang komposisi utamanya adalah kalsium atau batu kapur (CaO), Alumunia (Al2O3), Pasir silikat (SiO2) dan bahan biji besi (FeO2) dan senyawa-senyawa MgO dan SO3, penambahan air pada mineral ini akan menghasilkan suatu pasta yang jika mengering akan mempunyai kekuatan seperti batu.
Apabila butiran-butiran Portland Cement berhubungan dengan air, maka butiran-butiran tersebut akan pecah-pecah dengan sempurna sehingga menjadi hidrasi dan membentuk adukan semen. Jika adukan tersebut ditambah dengan pasir dan kerikil yang diaduk bersama akan menghasilkan adukan beton. Ismoyo (1996: 156) mengatakan, “Semen portland adalah sebagai bahan pengikat yang melihat dengan adanya air dan mengeras secara hidrolik”. Selanjutnya Murdock dan Brook (1991: 66) mengatakan :
Semen adalah suatu jenis bahan yang memiliki sifat (adhesif) dan kohesif (cohesive) yang memungkinkan melekatnya fragmen-fragmen mineral menjadi suatu massa yang padat. Meskipun definisi ini dapat diterapkan untuk banyak jenis bahan, semen yang dimaksudkan untuk konstruksi beton bertulang adalah bahan jadi dan mengeras dengan adanya air yang dinamakan semen hidrolis (hidrolic cements).
Dari beberapa pendapat tentang sifat semen dapat diambil pengertian bahwa semen portland adalah suatu bahan pengikat yang mempunyai sifat adhesif dan kohesif yang memungkinkan fragmen-fragmen mineral saling melekat satu sama lain apabila dicampur dengan air dan selanjutnya mengeras membentuk massa yang padat.
Semen hidrolis meliputi semen portland, semen putih dan semen alumunia. Untuk pembuatan beton digunakan semen portland dan semen portland pozzoland. Semen portland merupakan semen hidrolis yang dihasilkan dari bahan kapur dan bahan lempung yang dibakar sampai meleleh, setelah terbentuk klinker yang kemudian dihancurkan, digerus dan ditambah dengan gips dalam jumlah yang sesuai. Sedangkan semen portland pozzoland adalah semen yang dibuat dengan menggilang bersama-sama klinker semen portland dan bahan yang mempunyai sifat pozzoland (Kardiyono, 1996: 11).
Semen portland yang digunakan sebagai bahan struktur harus mempunyai kualitas yang sesuai dengan ketepatan agar berfungsi secara efektif. Pemeriksaaan dilakukan terhadap yang masih berupa bentuk kering, pasta semen yang telah keras, dan beton yang dibuat darinya.
Sifat kimia yang perlu mendapat perhatian adalah kesegaran semen itu sendiri. Semakin sedikit kehilangan berat berarti semakin baik kesegaran semen. Dalam keadaan normal kehilangan berat sekitar 2% dan maksimum kehilangan yang diijinkan 3%. Kehilangan berat terjadi karena adanya kelembaban dan karbondioksida dalam bentuk kapur bebas atau magnesium yang menguap.
2) Agregat Halus (Pasir)
Agregat halus (pasir) terdiri dari butiran sebesar 0,14-5 mm, didapat dari hasil disintegrasi batuan alam (natural sand) atau dapat juga dengan memecahnya (artifical sand), tergantung dari kondisi pembentukan tempat yang terjadinya. Pasir alam dapat dibedakan atas : pasir galian, pasir sungai, pasir laut, pasir done yaitu bukit-bukit pasir yang dibawa ketepi pantai.
Pasir merupakan bahan pengisi yang digunakan dengan semen untuk membuat adukan. Selain itu juga pasir berpengaruh terhadap sifat tahan susut, keretakan dan kekerasan pada batako atau produk bahan bangunan campuran semen lainnya.
Pasir yang digunakan untuk pembuatan batako harus bermutu baik yaitu pasir yang bebas dari lumpur, tanah liat, zat organik, garam florida dan garam sulfat. Selain itu juga pasir harus bersifat keras, kekal dan mempunyai susunan butir (gradasi) yang baik. Menurut Persyaratan Bangunan Indonesia (1982: 23) agregat halus sebagai campuran untuk pembuatan beton bertulang harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:
(1) Pasir harus terdiri dari butir-butir kasar, tajam dan keras.
(2) Pasir harus mempunyai kekerasan yang sama
(3) Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5 %, apabila lebih dari 5 % maka agregat tersebut harus dicuci dulu sebelum digunakan. Adapun yang dimaksud lumpur adalah bagian butir yang melewati ayakan 0,063 mm.
(4) Pasir harus tidak boleh mengandung bahan-bahan organik terlalu banyak
(5) Pasir harus tidak mudah terpengaruh oleh perubahan cuaca
(6) Pasir laut tidak boleh digunakan sebagai agregat untuk beton
Selain itu untuk memperoleh pasir dengan gradasi yang baik perlu diadakan pengujian di laboratorium. Agregat halus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam besarnya dan apabila diayak dengan susunan ayakan yang telah ditentukan dalam PBI 1971, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Sisa diatas ayakan 4 mm, harus minimum 2 % dari berat total
(2) Sisa diatas ayakan 1 mm, harus minimum 10 % dari berat total
(3) Sisa diatas ayakan 0,22 mm, harus bekisar antara 80 % - 90 % dari berat total.
3) Air
Air yang dimaksud disini adalah air yang digunakan sebagai campuran bahan bangunan, harus berupa air bersih dan tidak mengandung bahan–bahan yang dapat menurunkan kualitas beton. Menurut PBI 1971 persyaratan dari air yang digunakan sebagai campuran bahan bangunan adalah sebagai berikut:
a) Air untuk pembuatan dan perawatan beton tidak boleh mengandung minyak, asam alkali, garam-garam, bahan-bahan organik atau bahan lain yang dapat merusak daripada beton.
b) Apabila dipandang perlu maka contoh air dapat dibawa ke Laboratorium Penyelidikan Bahan untuk mendapatkan pengujian sebagaimana yang dipersyaratkan.
c) Jumlah air yang digunakan adukan beton dapat ditentukan dengan ukuran berat dan harus dilakukan setepat-tepatnya.
Air yang digunakan untuk proses pembuatan beton yang paling baik adalah air bersih yang memenuhi syarat air minum. Jika dipergunakan air yang tidak baik maka kekuatan beton akan berkurang. Air yang digunakan dalam proses pembuatan beton jika terlalu sedikit maka akan menyebabkan beton akan sulit untuk dikerjakan, tetapi jika air yang digunakan terlalu banyak maka kekuatan beton akan berkurang dan terjadi penyusutan setelah beton mengeras.
3 Jerami
Menurut Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (2002: 21) “Jerami segar mengandung 41,68% Karbon; 0,49% Nitrogen; 1,40% Phospor; dan 1,70% Kalium, sedangkan jerami lapuk mengandung 19,89% Karbon; 0,51% Nitrogen; 1,24% Phospor; dan 1,42% Kalium”. Sehingga untuk menghilangkan kadar organik yang terkandung pada jerami harus dilakukan pengeringan dengan cara dioven sampai kering tungku atau dapat diletakkan dibawah terik matahari sampai benar-benar kering. Dengan begitu jerami tersebut tidak lagi sebagai bahan organik atau bahan yang mengandung kadar organik.
Jerami padi yang digunakan sebagai bahan tambah pembuatan batako ini di tinjau dari jumlah penggunaan jerami padi pada pembuatan batako, yaitu dengan variasi jumlah jerami padi yang berbeda-beda. Pendapat Kardiyono (1996), “ Bahan tambah ialah bahan selain usur pokok beton (air, semen, dan agregat) yang ditambah pada adukan beton, sebelum, segera atau selama pengadukan, untuk mengubah atau lebih sifat-sifat beton sewaktu masih dalam keadaan segar atau setelah mengeras”.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud jerami sebagai bahan pengisi batako tidak berlubang adalah batang dari padi setelah pasca panen yang penggunaannya sebagai bahan pengisi batako tidak berlubang harus dikeringkan dengan cara dioven sampai kering tungku atau dapat diletakkan dibawah terik matahari sampai benar-benar kering.
b. Proses Pembuatan Batako
Dalam pembuatan batako tidak berlubang perbandingan antara semen dan pasir adalah 1 semen : 7 pasir kemudian diaduk hingga rata dalam keadaan kering. Kemudian diaduk lagi ditambahkan air secukupnya.
Untuk mengetahui kadar air dari suatu adukan ialah dengan cara membuat bola-bola dari adukan tersebut dan digenggam-genggam pada telapak tangan. Apabila bola adukan tersebut dijatuhkan dan hanya sedikit berubah bentuknya, berarti kandungan air dalam adukan terlalu banyak. Dan bila dilihat pada telapak tangan tidak berbekas air, maka kandungan air pada adukan tersebut kurang.
Proses pembuatan batako tidak berlubang dapat dilakukan dengan bahan dan peralatan yang sederhana antara lain: pasir, semen, air, pengadukan dan alat cetak. Penjelasannya adalah :
1) Jerami (batang padi pasca panen) diambil dari pangkal batang berjarak 2-3 cm dengan panjang 35 cm.
2) Jerami dikeringkan dengan cara dioven sampai kering tungku atau dijemur di bawah terik matahari sampai benar-benar kering.
3) Jerami dicampur dengan lem kayu sampai rata.
4) kemudian dipress dialat pengepresan selama 24 jam.
5) Jerami dibentuk seperti kubus dengan ukuran lebar x tinggi x panjang tertentu, yaitu (4x15x25 cm3; 4x10x25 cm3; 4x5x25 cm3; 5x15x30 cm3; 5x10x30 cm3, 5x5x30 cm3; 5x15x35 cm3; 5x10x35 cm3; 5x5x35 cm3).
6) Bila batako tidak berlubang menggunakan bahan dasar pasir (agregat halus yang berdiameter 0,14-4,76 mm) maka volume perbandingan adalah 7 pasir dan 1 semen.
7) Campuran tersebut kemudian ditambah air dan diaduk menjadi adukan mortar.
8) Adukan mortar dituang kedalam cetakan dengan ketinggian sesuai dengan variasi tinggi dari jerami sebagai pengisi adukan yang sudah di bentuk seperti kubus.
9) Masukkan jerami yang sudah dibentuk, kemudian adukan mortar dituangkan sampai permukaan.
10) Batako tidak berlubang yang sudah jadi disimpan di tempat tertutup agar terhindar dari sinar matahari langsung dan air hujan.
Guna memperoleh pengeringan dan keutuhan bentuk, batako tersebut didiamkan antara 3-5 hari dalam suhu kamar, kemudian diperlukan waktu antara 3-4 minggu sebelum batako bisa digunakan, semakin lama semakin baik kualitasnya. Selama pengerasan batako hendaknya dijaga agar tempat tersebut tetap lembab dan dihindarkan dari panas matahari maupun hujan secara langsung, sebaiknya batako disimpan ditempatkan di los tertutup.
a. Jenis dan Ukuran Batako
Ukuran dan jenis batako/bata cetak bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan. Ukuran batako yang standar adalah sebagai berikut Supribadi (1986: 58):
(1) Type A
Ukuran 20 x 20 x 40 cm3 berlobang untuk tembok/dinding pemikul beban dengan tebal 20 cm.
(2) Type B
Ukuran 20 x 20 x 40 cm3 berlobang untuk tembok/dinding tebal 20 cm sebgai penutup atap pada sudut-sudut dan pertemuan-pertemuan.
(3) Type C
Ukuran 10 x 20 x 40 cm3 berlobang, digunakan sebagai dinding pengisi dengan tebal 20 cm.
(4) Type D
Ukuran 10 x 20 x 40 cm3 berlobang, digunakan sebagai dinding pengisi/pemisah dengan tebal 20 cm.
(5) Type E
Ukuran 10 x 20 x 40 cm3 tidak berlobang untuk tembok-tembok setebal 10 cm, juga dipergunakan sebagai dinding pengisi atau pemikul sebagai hubungan sudut-sudut dan pertemuan.
(6) Type F
Ukuran 8 x 20 x 40 cm3 tidak berlobang, digunakan sebagai dinding pengisi dengan tebal 20 cm.
Batako yang baik adalah yang masing-masing permukaannya rata dan saling tegak lurus serta mempunyai kuat tekan yang tinggi. Persyaratan batako menurut PUBI-(1982) pasal 6 antara lain adalah “permukaan batako harus mulus, berumur minimal satu bulan, pada waktu pemasangan harus sudah kering, berukuran panjang ± 400 mm, ± lebar 200 mm, dan tebal 100-200 mm, kadar air 25-35% dari berat, dengan kuat tekan antara 2-7 N/mm2”
Sisi-sisi batako harus mulus dan tegak lurus sama lain dan tidak mudah direpihkan dengan tangan. Sebelum dipakai dalam bangunan, maka batako minimal harus sudah berumur satu bulan dari proses pembuatannya, kadar air pada waktu pemasangan tidak lebih dari 15%.
b. Keuntungan dan Kerugian Pemakaian Batako
Menurut Supribadi (1986: 59), ada beberapa keuntungan dan kerugian apabila menggunakan batako sebagai pengganti batu bata. Diantara keuntungan yang diperoleh adalah:
1. Tiap m2 pasangan tembok, membutuhkan lebih sedikit batako jika dibandingkan dengan menggunakan batu bata, berarti secara kuantitatif terdapat suatu pengurangan.
2. Pembuatan mudah dan ukuran dapat dibuat sama.
3. Ukurannya besar, sehingga waktu dan ongkos pemasangan juga lebih hemat.
4. Khusus jenis yang berlubang, dapat berfungsi sebagai isolasi udara.
5. Apabila pekerjaan rapi, tidak perlu diplester.
6. Lebih mudah dipotong untuk sambungan tertentu yang membutuhkan potongan.
7. Sebelum pemakaian tidak perlu direndam air.
Sedangkan kerugian pemakaian batako adalah sebagai berikut:
1. Karena proses pengerasannya butuh waktu yang cukup lama (± 3 minggu), maka butuh waktu yang lama untuk membuatnya sebelum memakainya.
2. Bila diinginkan lebih cepat membantu/mengeras perlu ditambah dengan semen, sehingga menambah biaya pembuatan.
3. Mengingat ukurannya cukup besar, dan proses pengerasannya cukup lama mengakibatkan pada saat pengangkutan banyak terjadi batako pecah.
Sedangkan menurut Frick Heinz dan Koesmartadi (1999: 97) batako mempunyai beberapa keuntungan:
Pemakaian bila dibandingkan dengan bata merah, terlihat penghematan dalam beberapa segi, misalnya setiap m2 luas dinding lebih sedikit jumlah batu yang dibutuhkan, sehingga kuantitatif terdapat poenghematan. Terdapat pula penghematan dalam pemakaian adukan sampai 75 %. Berat tembok diperingan dengan 50 %, dengan demikian fondasinya bisa berkurang. Bentuk batako yang bermacam-macam memungkinkan variasi yang cukup banyak, dan jika kualitas batako baik, maka tembok tidak perlu diplester dan sudah cukup menarik.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pnggunaan batako untuk bahan bangunan mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Keuntungan menggunakan batako dalam bangunan adalah Tiap m2 pasangan tembok, membutuhkan lebih sedikit batako jika dibandingkan dengan menggunakan batu bata, berarti secara kuantitatif terdapat suatu pengurangan keuntungan lain dari penggunaan batako adalah akan mengurangi efek kerusakan lingkungan khususnya lahan pertanian yang dijadikan sebagai pembuatan batu bata. Sedangkan kerugiannya meliputi proses membuatnya membutuhkan waktu lama kurang lebih 3 minggu, pengangkutan bisa membuat pecah dan retak, karena ukurannya yang cukup besar dan proses membatunya cukup lama.
4 Kuat Tekan Batako
Pengertian kuat tekan atau batako dianalogikan dengan kuat tekan beton. Mengacu pada pada SK SNI M–14–1989–F tentang pengujian kuat tekan beton. Yang dimaksud kuat tekan beton adalah besarnya beban persatuan luas yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani dengan gaya tekan tertentu dihasilkan oleh mesin tekan. (Dinas Pekerjaan Umum, 1989: 4)
Sedangkan Tjokrodimulyo (1996: 59) menjelaskan bahwa ”Dalam teori teknologi beton dijelaskan bahwa faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kekuatan beton adalah : faktor air semen dan kepadatan, umur beton, jenis semen, jumlah semen, dan sifat agregat”.
Berdasarkan rumus diatas dapat dilihat bawa kuat tekan beton akan semakin tinggi bila luas penampang tekan semakin besar, dan juga faktor air semen juga sangat menentukan daripada kuat tekan. Untuk itu perlu dicari nilai faktor air semen (fas) yang optimum yang menghasilkan kuat tekan yang maksimum.
Menurut Tjokrodimulyo (1996: 60) mengatakan bahwa : ”Kuat tekan batako bertambah sesuai dngan bertambahnya umur beton itu”. Begitu juga untuk batako bertambahnya kuat tekan dipengaruhi umur batako yang dicapai. Kecepatan bertambahnya kuat tekan seiring dengan umur baan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor air semen dan cara perawatannya.
Untuk memperoleh kuat tekan yang tinggi maka diperlukan agregat yang sudah diuji melalui uji agregat sehingga kuat tekannya tidak lebih rendah daripada pastanya. Tjokrodimulyo (1996: 60) menerangkan bahwa Sifat agregat yang paling berpengaruh terhadap kekuatan beton adalah kekasaran permukaan dan ukuran maksimumnya. Jumlah semen dapat menentukan kuat tekan dari batako, tetapi banyak sedikitnya jumlah semen yang dimaksudkan untuk meningkatkan kuat tekan batako harus diperhatikan nilai faktor air semen yang dihasilkan oleh adukan beton tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir adalah bahwa kuat tekan batako adalah kekuatan yang dihasilkan dari pengujian tekan oleh mesin uji tekan yang merupakan beban tekan keseluruhan pada waktu benda uji pecah dibagi dengan ukuran luas nominal batako atau besarnya beban persatuan luas.
5 Daya Serap Air (absorbsi)
Untuk pengujian penyerapan air, dipakai 3 (tiga) buah benda uji setiap variasi percobaan dalam keadaan utuh dengan peralatan sebagai berikut (SNI 03-2113-200):
a. Timbangan dengan ketelitian sampai 0,5% dari berat contoh uji.
b. Dapur pengering yang dapat mencapai suhu 105 ± 5 oC.
Benda uji seutuhnya direndam dalam air bersih yang bersuhu ruangan selama 24 jam. Kemudian benda uji diangkat dari rendaman, dan air sisanya dibiarkan meniris kurang lebih 1 menit, lalu permukaan benda uji diseka dengan kain lembab, agar air yang berlebihan yang masih melekat dibidang permukaan benda uji terserap kain lembab itu. Benda uji kemudian ditimbang (A). Setelah itu benda uji dikeringkan di dalam dapur pengering suhu pada 105 ± 5 °C sampai beratnya pada 2 kali penimbangan tidak berbeda lebih dari 0,2% dari penimbangan yang terdahulu (B). Selisih penimbangan dalam keadaan basah (A) dan dalam keadaan kering (B) adalah jumlah penyerapan air, dan harus dihitung berdasarkan prosen benda uji kering.
Untuk mengetahui besarnya prosentase daya serap air dari batako, dapat dihitung dengan rumus:
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang pengujian batako antara lain adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Satyarno (2004) dengan judul Penggunaan Semen Putih untuk Beton Styrofoam Ringan (BATAFOAM) menunjukkan bahwa diperlukan perbandingan pasir dan styrofoam dalam volume campuran beton adalah sebagai berikut 1,0 : 0,0; 0,8 : 0,2; 0,6 : 0,4; 0,4 : 0,6; 0,2 : 0,8 dan 0,0 : 0,1 dari volume total. dari penelitian diatas dihasilkan dengan tiga kriteria, antara lain:
1) Untuk penggunaan nonstruktur dengan persyaratan kuat tekan 0.35 MPa sampai 7 MPa maka jumlah prosentase Styrofoam yang dipakai adalah antara 60% sampai 100%.
2) Untuk penggunaan struktur ringan dengan persyaratan kuat tekan antara 7 MPa sampai 17 MPa maka jumlah presentase Styrofoam yang dipakai antara 0% sampai 60% untuk kandungan semen 250 kg/m3 sampai 300 kg/m3 dan antara 20% sampai 60 % untuk kandungan semen 350 kg/m3 sampai 400 kg/m3.
3) Untuk penggunaan struktur dengan persyaratan kuat tekan lebih besar dari 17 MPa maka jumlah presentase Styrofoam yang dipakai antara 0% sampai 20 % untuk kandungan semen 350 kg/m3 sampai 400 kg/m3.
Dari hasil kuat tekan diatas semakin banyak prosentase penggunaan Styrofoam kuat tekan dan berat jenis semakin menurun. Dengan bahan pertimbangan diatas maka peneliti mencoba menggunakan bahan jerami padi sebagai bahan tambah batako untuk mendapatkan kuat tekan yang lebih maksimal untuk spesifikasi beton ringan dan memperoleh berta jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis batako biasa.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ashari (1997) dengan judul Pengaruh Ampas Tebu Sebagai Campuran Bahan Baku Batako Terhadap Kuat Tekan menunjukkan bahwa ternyata dengan adanya variasi ampas tebu yang berbeda mempengaruhi kuat tekan batako tersebut. Hal tersebut ditunjukkan dari semakin besar prosentase (%) ampas tebu. Kuat tekan batako semakin menurun, tetapi mempunyai berat jenis yang lebih kecil dari batako biasa.
C. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian dalam kajian teori, penulis menguraikan kerangka berfikir sebagai berikut:
1. Pengaruh penambahan jerami padi terhadap kuat tekan batako tidak berlubang.
Bila jerami padi digunakan sebagai bahan tambah pembuatan batako tidak berlubang diharapkan dapat memenuhi kuat tekan sebagai beton ringan yaitu antara 0,35 Mpa-7 Mpa.
Jika penambahan jerami padi dengan berbagai variasi jumlah digunakan sebagai bahan tambah dalam pembuatan batako diduga berpengaruh pada kuat tekan.
Kemudian dari uaraian diatas maka ditentukan variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini. Sebagai variabel bebasnya adalah jerami padi dengan jumlah yang bervariasi, sedangkan kuat tekan batako tidak berlubang sebagai variabel terikat.
2. Penambahan jerami padi dengan jumlah yang tepat menghasilkan kuat tekan batako tidak berlubang yang maksimum.
Penambahan jerami padi dimaksudkan untuk mendapatkan dan mengetahui jumlah penambahan jerami padi yang tepat, sehingga menghasilkan kuat tekan maksimum pada batako tidak berlubang.
Jika penambahan jerami padi dengan jumlah yang tepat digunakan sebagai bahan tambah batako tidak berlubang maka diduga akan menghasilkan kuat tekan yang maksimum.
3. Pengaruh penambahan jerami padi terhadap daya serap air (absorbsi) pada batako tidak berlubang.
Penambahan jerami padi pada pembuatan batako akan mempengaruhi besarnya daya serap air (absorbsi). Semakin banyak penggunaan jerami padi pada pembuatan batako tidak berlubang maka dimungkinkan akan semakin besar daya serap airnya (absorbsi).
Jika penambahan jerami padi dengan berbagai variasi jumlah jerami padi dan dimensi tertentu pada batako tidak berlubang maka diduga akan diperoleh daya serap air (absorbsi) dengan prosentase yang berbeda-beda.
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Ada pengaruh positif penambahan jerami padi terhadap kuat tekan batako tidak berlubang.
2. Penggunaan jerami padi dengan jumlah yang tepat adalah dengan dimensi 4 cm x 5 cm x 25 cm untuk memperoleh kuat tekan batako tidak berlubang yang maksimum.
3. Ada Pengaruh Positif penambahan jerami padi terhadap besarnya prosentase Daya serap air (absorbsi).
selamat datang di Blogs saya
Terima Kasih Telah Mengunjungi Blogs Saya
Kamis, 10 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar